Supplies of School, IT & Office Equipment

Tokyo memiliki pesona uniknya sendiri, apakah untuk pelancong atau orang yang bertempat tinggal di Jepang. Sebagai kota yang tak pernah tertidur, Tokyo menyuguhkan banyak aktivitas seru, termasuk bidang makanan dan minuman. Untuk para pecinta masakan Nusantara, Cinta Jawa Cafe di Shibuya merupakan destinasi yang harus didatangi.

Pengembaraanku kali ini berawal di Fukuoka, suatu kota di bagian selatan Jepang yang populer karena ramennya yang lezat. Meskipun demikian, tujuan sebenarnya adalah ke arah Tokyo; tidak untuk merasakan masakan setempat, tetapi malahan untuk mencoba hidangan khas Indonesia di tempat bernama Cinta Jawa Cafe.

Kami berangkat dari Bandara Fukuoka menuju Haneda, opsi yang jauh lebih praktis daripada Narita karena lokasinya yang lebih dekat dengan pusat Kota Tokyo. Perjalanan udara ini berlangsung kurang lebih satu setengah jam saja. Sebagai penumpang maskapai dalam negeri, bagasi saya dikembalikan cukup cepat sehingga saya bisa langsung meninggalkan Area Tiba Terminal 1. Di sana, keponakan saya menyambut saya; dia telah lama menetap di Tokyo untuk beberapa tahun belakangan.

“Karena sudah larut malam, sebaiknya kita makan terlebih dahulu di Shibuya, lalu menuju ke hotel,” kata keponakanku. Ia menyarankan untuk singgah di sebuah restoran masakan Indonesia. Saya pun langsung menyetujuinya karena telah hampir satu minggu ini hanya memakan hidangan Jepang saat berada di Pulau Kyushu.

Dari Haneda, pilihan terbaik untuk pergi ke Shibuya adalah menggunakan kereta. Kita bisa mengambil Jalur Keikyu menuju Shinagawa, lalu beralih ke Jalur JR Yamanote yang akan membawa kita secara langsung ke Stasiun Shibuya. Rute ini sangat menyenangkan, dan sekitar 40 menit setelah memulai perjalanan, kita sudah sampai di Shibuya—titik pusat dari gemerlap kehidupan malam Tokyo dengan berbagai reklame bertubi-tuba, layar besar, dan arus orang tak henti-hentinya berlalu-lalang.

Saat meninggalkan stasiun, suhu malam Tokyo terasa dingin. Walaupun sudah mendekati pukul 21:00, area Shibuya tetap dipadati orang-orang. Karena kami berniat cepat tiba di rumah makan tersebut, keputusan pun dibuat untuk tidak melanjuti perjalanan dengan berjalan kaki dan lebih baik memesan taksi daring. Harganya sangat bersahabat yaitu kurang dari 1.000 yen, sesuai juga karena jarak tempuh yang tidak begitu jauh.

Sesudah berkendara kurang lebih 10 menit menggunakan taksi, akhirnya kita sampai di Cinta Jawa Cafe. Lokasi restoran tersebut berada dalam suatu daerah yang cukup tenang, menyuguhkan nuansa istimewa walaupun masih sangat gampang dicapai. Penampilannya dari luar memang simpel, akan tetapi setelah memasuki ruangan, aura kental Nusantara langsung dapat dirasakan.

Ruangan tersebut dipenuhi dengan dekorasi bernuansa tradisional, termasuk kain batik yang tersuspensi pada dinding-dindingnya, hiasan kayu bertutul api, patung wayang golocek berserakan, dan bendera-bendera berwarna merah putih. Cahaya lampu dalam ruangan cenderung remang-remang menciptakan perasaan hangat. Di balik semua itu, lagu gamelan berkumandang pelan-pelannya, memperkuat kesan kekhasan nusantara.

Ketika kita sampai, restoran tersebut tetap dipadati oleh tamu.

Sebagian besar pengunjuk rasa adalah orang-orang Indonesia yang bertempat tinggal di Jepang, termasuk beberapa mahasiswa, pekerja, wisatawan, serta penduduk setempat asal Jepang yang sepertinya tertarik pada kuliner Nusantara. Kami perlu bersabar selama kira-kira 10 menit sampai bisa diberikan tempat duduk. Bahkan sesampainya di sana, masih ada banyak tamu lain yang harus mengantri untuk mendapat kesempatan duduk. Mayoritas dari mereka tentunya merupakan warga negara Indonesia.

Setelah mengambil tempat duduk, kita langsung mengecek daftar menu yang penuh dengan sajian khas Nusantara. Mulai dari nasi goreng, gado-gado, soto ayam, sampai rendang, semua ada di situ. Aku pun memutuskan untuk mencoba nasi rames yang cukup lengkap. Selain itu, kita juga pesan es cendol serta kelapa muda.

Menariknya di daftar makanannya, terdapat pula martabak manis yang harganya 2200 Yen. Namun perlu dicatat bahwa hidangan ini hanya disajikan di cabang Hiratsuka dan Yokohama, serta harus dipesan sehari sebelumnya.

Saat menantikan pesanan tiba, saya menyempatkan diri untuk memperhatikan suasana di sekitar. Tamu-tamu tampak asyik menikmati hidangan mereka; beberapa orang sedang bercengkrama menggunakan Bahasa Indonesia sementara lainnya saling bertukar pikiran dalam dialek Jepang. Staf yang bersahabat itu bisa berbahasa ganda, sehingga dapat merespons kebutuhan setiap pelanggan dengan sempurna. Karyawan tersebut mengenakan jas atas berwarna coklat gelap disertai celana panjang hitam serta topi rapih bergambar kain tradisional Batik. Ada pula bagian dari tim ini yang lebih suka balutan busana senada dengan nuansa hitam.

Saat pesanan kami sampai, bau bumbu segera menyebar, membangkitkan nafsu makan. Saya diberi hidangan dalam piring yang indah, dan tampak sangat lezat.

Di tengah terdapat nasi putih berpagek bawang goreng, disampingnya terhidang rendang daging dengan irisan nangga muda seperti yang biasa diketemui pada hidangan gudeg ataupun sayur lodeh. Terletak di bagian atas sajian tersebut adalah tumis kacang panjang bersama tahu, sedangkan di sebelah kanan piring tersedia dua macam sambal yaitu sambal merah dan hijau.

Masakan ini sungguh mencerminkan keragaman rasa kuliner Indonesia melalui campuran bumbu yang kental, variasi tekstur, serta cita rasa yang membangkitkan nafsu makan. Rasanya bagaimana? Apakah cocok dengan gambaran masakan Indonesia di negara lain? Memang setelah mencoba, hasilnya tak membuat penasaran.

Saus sambal yang dihidangkan memiliki tingkat kepedasan yang tepat, tidak terlalu menusuk namun masih menawarkan ciri khas dari hidangan Nusantara.

Rendangnya memiliki tekstur empuk dengan bumbu yang menyerap secara menyeluruh, perkedelnya lunak di dalam namun agak renyah di bagian luarnya, sementara tempe orek-nya rasanya manis dan gurih layaknya hidangan buatan sendiri.

Bagi minumannya, saya pilih es kelapa muda yang sederhana namun segar, sementara itu keponakan saya pesan es cendol yang dihidangkan bersama santan dan gula merah, menciptakan cita rasa khas.

Di samping es kelapa muda, tersedia juga dawet ayu, jus alpukat, dan berbagai pilihan lainnya. Memang rasanya kelapa muda tersebut cukup standar. Namun cara menyajikannya sangat menarik dan membuat selera makan meningkat.

Setelah merasa kenyang dan terpuaskan setelah menyantap makanannya, kami pun memilih untuk beralih ke penginapan. Kami mengambil taksi daring dari Cinta Jawa Café kembali ke Stasiun Shibuya. Walaupun telah melewati pukul sepuluh malam, Shibuya masih begitu ramai dengan atmosfer yang unik—para pejalan tampak berlalu-lalang dengan cepat, cahaya neon mencolok belum juga padam, serta jalanan tetap dipenuhi kendaraan.

Sampai di Stasiun Shibuya, kita langsung beranjak ke arah jalur kereta yang akan mengantarkan kita ke hotel di daerah Nishikasai. Mulainya dengan menaiki Jalur Hanzomon lalu beralih ke Jalur Tozai di Stasiun Kudansita.

Tokyo mempunyai jaringan transportasi yang amat terorganisir dengan baik, termasuk di waktu dini hari dimana keretanya tetap berjalan.

Dalam gerbong kereta, pikiran saya masih terpaku pada cita rasa rendang yang tadi dimakan. Meskipun tak selezat seperti di rumah makan favorit saya di kampung halaman, namanya juga sudah cukup menyegarkan rindu akan masakan asli dari negara sendiri setelah sekian lama merantau.

Pengalaman makan di Cinta Jawa Cafe sungguh membuatku merasa seolah-olah ada di Indonesia, tidak di pusat kota metropolitan Jepang.

Pengalaman kali ini tak sekadar soal mencicipi makanan, tapi juga tentang menyelami kembali hangatnya suasana rumah walaupun tengah berada jauh dari tanah air. Memang masakan Indonesia punya pesona unik, apalagi untuk mereka yang merindukan rasanya asli kampung halamannya.

Kafe Cinta Jawa di Shibuya menunjukkan bahwa kuliner Indonesia dapat diterima secara luas di luar negeri. Baik dari segi atmosfer, layanan maupun rasanya, semua elemen menciptakan sebuah pengalaman asli bagi para tamunya. Selain itu, harga hidangan di tempat ini tetap terjangkau, khususnya apabila dibandingkan dengan patokan harga restoran di Tokyo.

Untuk mereka yang tengah berada di Tokyo dan berniat mencicipi hidangan dari Nusantara, Cinta Jawa Café merupakan destinasi yang tak boleh dilewatkan. Dengan lokasinya yang mudah dicapai, suasana yang menyenangkan, serta sajian makanan yang sangat memanjakan lidah, tempat ini menjadi favorit banyak orang. Perlu dipastikan juga bahwa bila Anda merindukan martabak manis, maka harus menuju ke Hiratsuka atau Yokohama terlebih dahulu karena disitu tersaji, dengan catatan memesan sebelumnya ya.

Setelah menempuh perjalanan jauh dari Fukuoka hingga mencapai Tokyo, diselingi oleh pengalaman makan malam yang menggembirakan, kita akhirnya sampai di tempat penginapan. Kelelahan pun mulai mereda, namun kesenangan setelah memanjakan diri dengan hidangan nusantara masih bertahan. Di waktu malam tersebut, aku beristirahat dengan perut penuh dan pikiran bahagia, bersiap-siap untuk eksplorasi lebih lanjut ke esok hari.