SAM.CO.ID –
Minyak anjlok pada hari Kamis (3/4) usai OPEC+ mengambil langkah percepatan dalam meningkatkan produksi minyak mentah bulan Mei ini. Langkah tersebut menambah beban terhadap kondisi pasar yang sudah tegang karena adanya tambahan tariff dari Presiden AS Donald Trump.
Melansir
Reuters,
Harga minyak mentah Brent anjlok sebesar US$5,33 atau 7,11% hingga mencapai US$69,62 per barel pada pukul 15.04 GMT.
Pada saat yang sama, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) anjlok sebesar $5,59 atau 7,80% hingga mencapai tingkat $66,12 per barel.
Penurunan kali ini merupakan yang tertinggi bagi Brent sejak tanggal 1 Agustus 2022, serta mencatatkan kemerosotan paling signifikan untuk WTI mulai 11 Juli 2022.
“Tanpa ragu, terjadi banyak ketakutan di pasaran hari ini,” kata Phil Flynn, pakar senior dari Price Futures Group.
Sangat banyak orang yang meragukan Trump akan meneruskan kebijakan tarifnya, namun ternyata dia mempertahankannya.
Pada rapat para menteri OPEC+ yang berlangsung pada hari Kamis, mereka telah setuju untuk mengakselerasi agenda kenaikan produksi. Mereka akan menyediakan tambahan 411.000 barel per hari (bph) di pasaran mulai bulan Mei—melebihi target semula sekitar 135.000 bph.
“Ekonomi dan permintaan minyak senantiasa berhubungan,” ujar Angie Gildea, kepala bidang energi di KPMG AS.
pasar sedang memproses efek dari kenaikan tariff, namun gabungan antara peningkatan produksi minyak serta gambaran ekonomi dunia yang lesu terus menerpa harga minyak dengan tekanan lebih keras.
Biaya yang Dipungut oleh Trump serta Pengaruhnya pada Pasar Minyak
Sebelum pertemuan OPEC+, harga minyak telah menurun kira-kira 4% karena para investor cemas tentang tarif baru yang diusulkan oleh Trump bisa memprovokasi peperangan perdagangan dunia, mencegah perkembangan ekonomi, serta meredupkan kebutuhan akan bahan bakar.
Pada hari Rabu (2/4), Trump menyatakan bahwa akan ada tarif minimal 10% untuk sebagian besar barang-barang yang diimpor ke Amerika Serikat—yang merupakan negara dengan konsumsi minyak terbesar di planet ini. Selain itu, bea masuk yang lebih tinggi pun berlaku bagi produk-produk dari banyak negara lainnya.
Walaupun impor minyak, gas, serta hasil pengolahan dilepaskan dari kebijakan tariff yang baru ini, para ahli masih menduga akan ada dampak merugikan bagi pasar.
UBS telah mengurangi perkiraan harganya untuk minyak pada tahun 2025-2026 dengan penyesuaian sebanyak US$3 menjadi US$72 per barel.
Analisis dan trader saat ini mengantisipasi fluktuasi harga minyak yang semakin besar dalam waktu dekat, utamanya disebabkan oleh potensi negosiasi kembali atau tindakan balasan dari berbagai negara yang merasakan pengaruh tariff tersebut.
“Peluang langkah balasan dari berbagai negara mungkin akan datang dengan cepat, dan sesuai dengan respons pasar yang telah kita lihat, ancaman resesi dan stagflasi kian menjadi-jadi,” ungkap analis PVM, Tamas Varga.
Ini pada akhirnya akan ditanggung oleh para pelanggan dan perusahaan dalam negeri di Amerika Serikat, yang nantinya dapat menaikkan harga serta memperlambat perkembangan perekonomian.
Kenaikan Stok Minyak AS Memberi Tekanan tambahan
Di samping aspek biaya dan regulasi OPEC+, pasar minyak juga mengalami tekanan akibat rilis laporan terkini dari EIA Amerika Serikat yang jatuh pada hari Rabu kemarin.
Berdasarkan data, terjadi kenaikan tak terduga dalam stok minyak mentah Amerika Serikat sebanyak 6,2 juta barrel seminggu kemarin, melebihi perkiraan para ahli yang mengantisipasi penurunan hanya sekitar 2,1 juta barrel saja.
Dengan campuran kebijakan tariff Amerika Serikat, kenaikan produksi oleh OPEC+, serta lonjakan persediaan minyak di Amerika Serikat, perkiraannya adalah bahwa harga minyak mentah kemungkinan besar akan terus berfluktuasi selama beberapa minggu mendatang.