PIKIRAN RAKYAT –
Pada awal tahun 2025 tercatat adanya deflasi yang mengindikasikan penurunan daya beli publik. Meskipun ada pergerakan uang selama periode Ramadhan dan Idul Fitri 2025, hal tersebut dinilai belum cukup untuk meningkatkan kemampuan membeli masyarakat.
Walaupun pemerintah melihat deflasi sebagai bukti sukses dalam mengontrol harga, beberapa ahli ekonomi malahan menyebut situasi ini sebagai petunjuk pelemahan konsumsi lokal yang mempengaruhi banyak aspek di bidang ekonomi.
Guru Besar di bidang Manajemen dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Anton Agus Setyawan, menggarisbawahi efek deflasi pada industri manufaktur. Dia menyatakan bahwa penurunan kemampuan konsumen memicu kenaikan tingkat pengangguran.
“Pada awal tahun 2025, sekitar 14.000 buruh terdidik mengalami pemutusan hubungan kerja karena menurunnya produktivitas di industri manufaktur. Ini mempengaruhi penghasilan keluarga dan secara bertahap meredupkan kemampuan konsumsi publik,” jelas Anton.
Bukan hanya industri manufaktur, tetapi bidang perdagangan dan layanan pun merasakan pengaruh yang sama. Kondisi tersebut semakin rumit karena adanya ketidakyakinan dalam sistem ekonomi dunia pasca pandemi COVID-19, yang terus-menerus menyebabkan krisis energi serta situasi geopolitis tegang.
Anton berpendapat bahwa langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah, termasuk pengurangan biaya listrik dan skema subsidi jalan toll saat cuti lebaran, masih kurang efektif dalam menyelesaikan masalah fundamental pada ekonomi. Anton merekomendasikan agar pihak berwenang meningkatkan kebijakan bantuan sosial demi melindungi kemampuan konsumen masyarakat.
Sektor Perhotelan Mengalami Kesusahan, Dua Tempat Penginapan di Bogor Ditutup
Pengurangan kemampuan pembelian juga berdampak pada sektor perhotelan. Dua hotel di Kota Bogor, Jawa Barat, harus menutup karena tingkat hunian yang rendah, mengakibatkan 150 orang karyawan kehilangan pekerjaannya.
Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, menyatakan bahwa apabila kemampuan pembelian konsumen tak cepat pulih, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam bidang perhotelan dikhawatirkan akan semakin bertambah.
“Kemarin dua hotel di Bogor ditutup, sehingga 150 karyawan menjadi pengangguran. Bila situasi ini berlangsung lebih lama, kemungkinan besar akan ada lebih banyak hotel yang bangkrut,” kata Hariyadi.
Hariyadi pun menyoroti penurunan angka okupansi hotel selama Idulfitri pada tahun 2025 yang tercatat sebesar 20 persen jika dibandingkan dengan periode serupa di tahun sebelumnya. Proses pemesanan kamar untuk musim tersebut tampak melambat dan tak bertahan sampai penghujung masa liburan layaknya beberapa tahun lampau.
Dia menginginkan pemerintah untuk secepatnya mengeksekusi kebijakan pengeluaran yang bisa meningkatkan tingkat hunian di hotel. Sebab, pasar dari kalangan pemerintahan telah memberi kontribusi hingga 40% dari jumlah total reservasi kamar hotel secara keseluruhan.
Kecenderungan Penurunan Jumlah Pemudik Untuk Lebaran Tahun 2025
Hasil survei dari Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa perkiraan jumlah pemudik untuk Idulfitri pada tahun 2025 adalah sekitar 146,48 juta orang, mengalami penurunan sebesar 24,34% jika dibandingkan dengan angka di tahun sebelumnya yang berada di kisaran 193,6 juta orang.
Berdasarkan keterangan dari Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kementerian Perhubungan, Budi Rahardjo, ada pengurangan dalam mobilitas masyarakat saat musim mudik kali ini. Meskipun demikian, beliau tidak menyampaikan faktor-faktor utama yang menjadi alasan turunnya aktivitas tersebut.
“Betul, jumlah orang yang berpotensi melakukan perjalanan pulang kampung pada Lebaran tahun ini (2025) menunjukkan penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik di Kementerian Perhubungan, Budi Rahardjo, pada hari Sabtu, 22 Maret 2025.
Pada sisi lain, informasi yang diperoleh dari Sistem Informasi Angkutan dan Sarana Transportasi Indonesia (Siasati) menyatakan bahwa sampai dengan hari ketiga sebelum Idul Fitri, total penumpang dari lima jenis angkutan publik mencapai 6,75 juta orang, berkurang 4,8% dibanding periode serupa pada tahun lalu. Jenis pengangkut yang mengalami penurunan signifikan adalah bis inter-kota antar-provinsi (AKAP) sebanyak 10,2%, disusul oleh pesawat udara (6,8%) serta kapal laut (4,8%).
Direktur Kebijakan Publik di Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengatakan bahwa peningkatan biaya hidup warga yang stagnan merupakan penyebab primer berkurangnya jumlah orang yang pulang kampung. Peningkatan tarif barang-barang esensial serta jasa perjalanan juga memberatkan pilihan banyak keluarga untuk melakukan mudik.
“Aspek tambahan ialah ketidaktentuan dalam bisnis dan kelangkaan kenaikan gaji. Banyak orang lebih memilih untuk mengurangi belanja, bahkan mencakup pulang kampung, demi melindungi kondisi finansial mereka,” jelas Askar.
Di luar aspek finansial, penurunan dukungan sosial ikut membentuk keputusan warga untuk pulang kampung. Di tahun 2025, dana bantuan sosial mengalami pengurangan kurang lebih 16% jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, yaitu menurun dari total Rp168 triliun hingga mencapai level baru senilai Rp140 triliun. Dana tersebut pada umumnya dipakai oleh penduduk guna memenuhi segala macam keperluan pokok serta sebagai bekal awal dalam menjalankan bisnis mereka di desanya masing-masing.
Pergerakan Uang di Momen Lebaran Berkurang
Wakil Ketua Umum bidang Pembangunan Otonomi Daerah di Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sarman Simanjorang, mengestimasi bahwa jumlah putaran uang saat perayaan Idul Fitri 1446 Hijriyah diperkirakan sebesar Rp137,9 triliun, yang mana angka ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai tersebut pada tahun 2024 yaitu sekitar Rp157,3 triliun.
“Kemerosotan itu sesuai dengan penurunan jumlah orang yang mudik,” jelas Sarman dalam pernyataannya, pada hari Selasa, 1 April 2025.
Pada saat yang sama, Ekonom dari Indef, Eko Listiyanto, mengemukakan bahwa ketidakstabilan ekonomi memiliki dampak terhadap kemampuan konsumen untuk berbelanja. Menurut catatannya, peningkatan PHK di industri manufakturing juga ikut mempengaruhi pilihan masyarakat dalam hal pengeluaran serta merencanakan pulang kampung mereka.
“Kemampuan pembelian publik menurun secara signifikan berdampak langsung terhadap pola belanja dan perjalanan pulang kampung. Banyak orang lebih memilih untuk bertahan di tempat tinggal mereka di kota tersebut akibat batasannya dalam hal keuangan,” jelas Eko Listiyanto.
Di samping itu, pembelian barang-barang esensial dan fashion saat bulan Ramadhan tetap tidak berubah dibanding dengan tahun-tahun lalu. Dia menyimpulkan, “Hal ini mencerminkan bahwa orang-orang semakin teliti dalam merencanakan pengeluaran mereka.”
Mengingat banyak elemen yang mempengaruhi penurunan kemampuan pembelian individu, diharapkan pihak pemerintah bisa merancang taktik efektif untuk meningkatkan pengeluaran publik serta mencegah akibat jangka panjang terhadap kondisi ekonomi dalam negeri. ***