SAM.CO.ID,
Oleh:
Syafruddin Karimi dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas
Peringkat kredit tidak semata-mata sebuah angka; ini merupakan refleksi atas kepercayaan dunia internasional terhadap kemampuan dan tekad suatu negara untuk mengatur finansinya dengan baik. Untuk Indonesia, mempertahankan peringkat kredit tak cuma berarti mendapatkan tingkat bunga pinjaman yang lebih rendah, tetapi juga menjamin harga diri serta reputasi sebagai bangsa berkembang yang bertujuan mencapai pertumbuhan jangka panjang secara berkesinambungan. Berdasarkan laporan paling baru dari agen penilai kelayakan seperti Moody’s, S&P, dan Fitch pada tahun 2025, diberikan petunjuk signifikan bahwa posisi Indonesia saat ini masih stabil dalam rentang amannya.
investment grade
tapi cuma selangkah lagi dari pinggir jurang downgradenya.
Tujuan pemerintah untuk menggenjot pendapatan negara sebesar 23% dari PDB serta memperkuat rasio perpajakan menjadi 18%, merupakan aspirasi luar biasa yang layak dipuji. Akan tetapi, pandangan pasar bukannya pada sasarannya—pasar lebih tertuju pada pelaksanaan dan kepercayaan terhadap kebijakan tersebut. Mengingat kondisi dunia yang belum stabil, kebijakan fiskal dan moneter Indonesia mesti bersatu padu. Tanpa sinkronisasi ini, persepsi tentang risiko dapat naik, sehingga penilaian kredit juga bisa merosot.
Rating Kredit Indonesia (2023–2025)
S&P (Standard & Poor’s)
A-2 (Juli 2023) BBB (Juli 2023) STABIL (April 2022)
Moody’s
Baa2 (Apr 2024)
Fitch Ratings
F2 (Maret 2025) BBB (Maret 2025) Stabil (Maret 2025)
StarMine (Implied)
— BBB- (Maret 2025) —
Sumber:
https://apac1-apps.platform.refinitiv.com
Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat bahwa semua lembaga pemberi peringkat kredit penting tetap mengklasifikasikan Indonesia pada tingkatan tersebut.
investment grade
Namun, kedudukan kami saat ini berada di tepi bawah untuk kriteria tersebut. Jika pihak berwenang tidak berhasil menangani persepsi tentang risiko—dengan menerapkan kebijakan perpajakan yang luwes namun kurang dapat dipercaya—
downgrade
bisa menjadi kenyataan.
Proyek-proyek skala besar seperti Program Makanan Bernutrisi Gratis (M-BGN) serta peningkatan nilai tambah pada sektor industri memerlukan investasi signifikan. Secara keseluruhan, proyek tersebut dapat merangsang perkembangan ekonomi di masa depan. Tetapi dalam periode singkat, pasar akan mencari tahu: Sumber keuangan dari dana itu berasal darimana? Apakah lewat kenaikan tarif pajak? Atau dengan akumulasi hutang yang semakin banyak?
Hasilnya perlu tegas dan dapat diukur. Pihak pemerintah harus memperlihatkan rute pembiayaan yang bisa dievaluasi oleh pelaku pasar. Jika demikian,
tax ratio
jika ingin meningkatkan tarif menjadi 18% dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka pendekatan untuk menggenapi kewajiban pajak perlu jelas. Hal ini mencakup: meluaskan cakupan pengenaan pajak dengan cara yang merata, menyusun ulang bagian sektor tidak resmi yang sudah terorganisir, serta melakukan pemotongan birokrasi.
tax expenditure
yang kurang efektif. Peningkatan digitalisasi dalam sistem perpajakan melalui
core tax system
harus dipercepat.
Sebaliknya, Bank Indonesia (BI) tak dapat hanya bertindak sebagai pengawas inflasi dan nilai tukar. BI perlu memegang peran sebagai mitra fiskal yang penting tanpa merusak kedaulatannya sendiri. Kerjasama antara kebijakan fiskal dengan moneter merupakan hal wajib untuk tetap meyakinkan para pemain di pasaran. Jika pendekatan fiskal bersifat lebar atau longgar, maka kebijakan moneternya jangan sampai saling bermusuhan. Sinergi dari dua aspek ini menciptakan gambaran kebijakan secara menyeluruh.
Moody’s serta badan penilai kredit lainnya tak memandang Indonesia semata-mata berdasarkan angka-angka seperti defisit atau hutang. Sebaliknya, mereka mengamati sejauh mana pemerintah bisa merancang dan menjalankan kebijakan yang handal, rasional, dan praktis. Selain itu, mereka juga mencermati apakah pengeluaran pemerintahan bersifat produktif, tepat pada sasarannya, dan efektif. Karena itu, proyek-proyek skala besar bukan saja perlu dideklarasikan, tapi juga harus didampingi oleh sistem monitoring prestasi kerja dan manajemen yang solid.
Kita harus mengenali pula bahwa di tengah kondisi suku bunga yang tinggi secara global, bergantung pada pinjaman dapat menimbulkan akibat serius. Jika peringkat kredit merosot, yield dari Obligasi Negara (ON) bakal meningkat dengan cepat. Para investor lembaga pun akan mulai merevaluasi posisinya di pasar Indonesia. Pada tahapan tertentu, penurunan nilai mata uang lokal akan memiliki dampak segera pada biaya barang pokok serta kemampuan pembelian penduduk.
Pemerintah tak dapat mengandalkan saja pada pidato kosong dan semangat positif. Apa yang diinginkan pasar adalah tanda-tanda konkret: bahwa seluruh keputusan disokong oleh bukti empiris, perkiraan anggaran yang masuk akal, serta kinerja aparatur negara yang efektif. Jika hal ini kurang ada, maka resikonya bertambah, tingkat ketidakpastian meninggi, dan peringkat kredit mungkin merosot walaupun tujuan Anggaran Pendanaan Negara telah dicapai.
Di sisi lain, apabila pemerintah dapat menyampaikan kebijakan dengan jelas, meningkatkan kepercayaan pasar, serta membuktikan bahwa pengeluaran negara memiliki dampak ekonomi yang signifikan, maka peringkat kredit bisa dijaga bahkan dinaikkan. Ketika peringkat ini meningkat, semua alat fiskal akan terdampak positif: suku bunga pinjaman menjadi lebih rendah, minat investasi bertambah, dan belanja sosial dapat dilakukan secara berkesinambungan tanpa khawatir masalah finansial.
Peringkat bukanlah tujuan terakhir. Namun, itu merupakan indikator yang mengubah perekonomian secara keseluruhan. Mempertahankan peringkat artinya mempertahankan kepercayaan. Dan dengan mempertahankan kepercayaan, kita menjamin masa depan bangsa.