Nyekar adalah suatu praktik penting dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama bagi komunitas Muslim. Kebiasaan ini biasanya dikerjakan pada hari-hari tertentu seperti ketika memperingati wafatnya seseorang, menjelang acara perkawinan atau sunatan, serta paling sering dilakukan sebelum bulan Ramadhan tiba dan setelah melakukan ibadah salat Idul Fitri.
Menghadiri dan memelihara kuburan leluhur tidak semata-mata menjadi tradisi tahunan kosong arti. Ada nilai-nilai Islam yang terkait dengan warisan budaya setempat yang telah dilestarikan sejak dulu kala.
Misalnya, kemiripannya dengan Ramadhan, yang merupakan waktu untuk membersihkan diri dan merenung secara rohani, menunjukkan bahwa nyekar punya peranan penting dalam persiapan menjelang bulan suci tersebut. Begitu juga, dilakukan pada hari raya Idul Fitri sering kali diartikan sebagai bentuk penghormatan dan ucapan syukur usai berpuasa.
Di samping itu, hubungan yang erat antara nyekar dan umat Muslim di Jawa menunjukkan ada koneksi antara praktik ini dengan evolusi budaya atau sejarah tertentu dalam kerangka keagamaan Islam di Jawa.
Menjelaskan Arti dan Kegiatan Membawa Bunga untuk Dibebaskan di Tempat Suciedad
Etymologi kata nyekar berasal dari Bahasa Jawa, yakni perkataan sekar yang memiliki arti ‘bunga’. Oleh karena itu, penggunaan nyekar secara langsung mengacu pada kegiatan meletakkan bunga di atas kuburan.
Kegiatan serta ritual yang sering dilakukan saat menyucikan kuburan mencakup berkunjung ke tempat pemakaman, membersihkan daerah sekitar makam, mengajukan permohonan kepada almarhum, dan meletakkan bunga. Tipe-tipe bunga yang digunakan pada umumnya memiliki pilihan tertentu seperti melati, kamboja, mawar, dan kenanga.
Sejumlah pihak yang menerapkan kebiasaan nyekar bersandar pada sunnah Nabi Muhammad saw., berdasarkan hadits riwayat Ibnu Abbas, yaitu:
Rasulullah melewati dua kuburan dan berkata, ‘Kedua jiwa tersebut tengah ditimpa azab, meskipun bukan karena kesalahan besar; satu disiksa lantaran tak membersihkan diri usai buang air kecil, sementara lainnya akibat gemar menciptakan perselisihan antarpribadi.’ Lalu, ia merogoh sebuah ranting dari pohon kurma yang masih segar, memotongnya jadi dua bagian, kemudian menyematkannya di atas kedua makam itu. Sahabat-sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, apa alasan tindakanmu?’ Ia pun menjawab, ‘Mungkin saja siksaan mereka berkurang hingga ranting ini layuh.’
.
” (HR. al-Bukhari: 218).
Sejumlah ahli agama yang mendukung praktik memperingati meninggalnya orang tua menyebarkan penjelasan tambahan tentang perumpamaan dedaunan kurma segar tersebut.
Syekh As-Syarbini dalam Al-Iqna
menyatakan bahwa daun kurma, seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi, dapat diganti dengan bunga atau tumbuhan yang memiliki sifat segar.
Dalam kebiasaan yang berbeda, meletakkan bunga sering kali mencakup penggunaan dupa atau kambo. Seperti dijelaskan oleh Samsul Ariyadi didalamnya
Rekapitulasi Al-Quran dan Variasi Spirituality Jawa Kontemporer: Analisis atas Kepraktekan Mujahadah dan Upacara Semaan al-Quran oleh Mantab Purbojati dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (2021: 168)
, aspek terakhir ini semakin langka diterapkan akhir-akhir ini, walaupun hal itu belum sepenuhnya lenyap.
Nyekar dianggap pula sebagai cara untuk menjalin hubungan baik antara mereka yang masih hidup dengan orang-orang yang telah meninggal dunia. Kebiasaan ini pun menunjukkan pemikiran mendalam tentang asal-usul manusia beserta cinta dan kebaikan yang didapat dari nenek moyang saat mereka masih hidup.
Terdapat beragam cara melaksanakan adat nyekar di seluruh wilayah Nusantara. Misalnya saja di desa Sengeti, yang terletak di Jambi, terdapat
tradisi “Antar Kembang”
, yaitu menabur bunga dan menyiram makam dengan air. Upacara itu biasanya disertai pula dengan penyajian makanan.
Di pemakaman Gereja Tugu
, Jakarta, kebiasaan nyekar juga melibatkan pembersihan kuburan dan menyediakan lilin serta bunga sebagai tanda menghargai nenek moyang yang berada dalam garis keturunan tertentu.
Perbedaan daerah dalam ritual memuja menunjukkan dampak dari budaya dan keyakinan setempat pada praktek utamanya.
Perspektif Awal Islam Mengenai Kunjungan ke Makam
Di periode-periode permulaan agama Islam, Rasulullah melarang kaumnya untuk mengunjungi makam. Pelarangan tersebut diberlakukan karena berbagai alasan, utamanya adalah iman para pemeluk baru yang belum kuat dan ketakutan atas kemungkinan timbulnya perilaku berkaitan dengan kesesakan sebelum masuknya Islam.
Kehidupan di kalangan masyarakat Arab saat itu sangat dekat dengan ritual penyembahan berhala serta keyakinan akan adanya dewa-dewi. Salah satunya adalah pemujaan terhadap makam-makam dan mencari bantuan dari mereka yang sudah wafat. Karena alasan tersebut, Nabi merasa prihatin bahwa kunjungan ke pemakaman bisa salah tafsir dan malah mendayakan perilaku syirik, yakni menyeret nama Tuhan Yang Maha Esa menjadi lebih dari satu.
Pembatasan awal untuk berkunjung ke pemakaman adalah upaya pencegahan yang dirancang untuk menjaga iman monotheisme masyarakat Muslim baru, sehingga dapat terlindungi dari dampak tradisi polyteistis yang sudah mapan.
Dengan berlalunya waktu dan semakin kerasnya keyakinan umat Islam, Rasulullah mengizinkan ziarah makam, bahkan menyatakannya sebagai suatu anjuran, seperti yang disebut dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim:
Dulunya saya menolak kalian untuk berziarat ke kuburan, tetapi sekarang silakan berziarat.
Alasannya diizinkan karena ziarah kubur bisa berfungsi sebagai
tazdkiratul akhirah
Pengingat tentang kematian dan hidup setelah mati. Upacara itu pun bisa membuat hati manusia menjadi lebih lembut.
Imam Al-Ghazali dalam kitab
Ihya’ Ulum ad-Dien Vol.4
mengungkapkan, melakukan kunjungan ke makam dianjurkan secara keseluruhan dengan maksud untuk memikirkan tentang kematian serta belajar dari hal tersebut. Sedangkan mengunjungi makam para orang yang shaleh lebih diupayakan demi meraih berkat dan ilmu pengalaman.
Semua faksi dalam agama Islam setuju tentang legitimasi berkunjung ke kuburan. Ada sebuah hadits yang menyatakan bahwa Nabi pernah mendatangi pemakaman ibunya dan mendorong pengikutnya untuk melakukan hal serupa karena kunjungan tersebut bisa memperingati hari akhir.
Merujuk Muchammad Toha dalam
Buletin Teosofi edisi bulan Juni tahun 2016
, kebiasaan mengunjungi makam terus bertahan setelah sang nabi meninggal dunia dan malah diterapkan hampir di seluruh negeri dengan populasi Muslim. Misalnya di Baghdad, Iraq, ada
Makam Sheikh Abdul Qadir Jailani
Yang hampir setiap harinya dipenuhi dengan pengunjung ziarah. Demikian pula makam Imam Syafi’i di Mesir, pemakaman Ayatollah Ruhullah Khomeini di Iran, para khalifah dari dinasti Umaiyah di Suriah, dan kebun makam para habaib di Tarim, Yaman.
Pergantian undang-undang dari larangan ke pengesahan mencerminkan perkembangan dalam memahami dan menerapkan Islam. Fokus pada peneguhan iman sebagai syarat agar ziarah kubur diizinkan, menunjukkan metode mendidik yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam. Setelah dasar ketakwaan monotheisme sudah kokoh, ritual ini bisa dipertimbangkan ulang menjadi gerakan perenungan dan introspeksi yang positif, daripada sekadar ancaman berpotensi menyimpang ke arah kesyirikan.
Integrasi Upacara Nyekar ke dalam Kebudayaan Islam di Indonesia
Para Wali Sanga memiliki peranan signifikan dalam menyatukan prinsip-prinsip Islam dengan adat istiadat setempat yang telah mapan, seperti ziarah kubur. Mereka memaknainya sebagai metode penyebaran agama yang kuat serta cara untuk melindungi peninggalan budaya nenek moyang mereka.
Konsep Jawa tentang mencari
pangestu ‘
Berbagai berkat warisan nenek moyang juga diselaraskan dengan ritual-ritual Islam seperti doa bagi mereka yang sudah tiada. Untuk kelompok tertentu yang dikenal sebagai “Jawa Abangan”, kunjungan ke pemakaman para raja di Imogiri seringkali dipandang sebagai alternatif ibadah haji, hal ini pun pernah ditulis oleh Michael F Laffan.
Kebangsaan Islam dan Kolonial Indonesia: Umma di Bawah Angin (2003)
.
Mengunjungi makam kerap dilakukan menjelang Ramadhan dan Idulfitri, umumnya pada masa Ruwah atau Syakban sesuai penanggalan Hijriyah. Aturan mengenai periode-periode spesifik untuk melakukan ziarah kubur sangat berkaitan dengan adat istiadat Jawa.
Dalam kepercayaan Jawa kuno serta Hindu,
nyekar
Diketahui berasal dari ritual pemujaan bertujuan untuk memperingati mereka yang sudah wafat, seringkali dikenal sebagai upacara Sraddha. Berdasarkan sebuah artikel yang dipublikasikan di
Religio: Jurnal Studi Agama-agama
, Sraddha sudah melewati perubahan besar dan masih digunakan dalam beragam wujud sampai sekarang.
Sebagai versi yang dimodifikasi dari Sraddha, nyekar dan nyadran dipraktikkan menurut keyakinan masing-masing orang. Misalnya saja di Jawa, upacara ini telah bercampur dengan budaya ziarah kubur seperti pada agama Islam.
Mundur dengan cepat, sebagaimana yang tertera di sana
Surat ke-31 Buku Hukum Negara Kertagama
, Raja Hayam Wuruk menyaksikan pernikahan keluarganya di Desa Kalayu pada tahun 1359 Masehi.
“Kalayu merupakan nama sebuah kampung buruan kerajaan, yang menjadi lokasi pemakaman keluargaBaginda sang raja. Penghormatan diselenggarakan di pemakaman tersebut secara sungguh-sungguh. Ritual penghormatan ini dikenal sebagai ‘Memegat Sigi’. Seluruh prosesi ritualnya dilaksanakan sesuai dengan seluruh ketentuan adat istiadat. Dimulai dari perjamuan besar tanpa pidato resmi. Para penasihat membawa baginda ke arah halaman terbuka. Gendang dan kendang bergema mengiringi setiap langkah mereka,” seperti ditulis dalam Pupuh 31.
Ciri khas sinkretisme Islam di Jawa, yang bercampur dengan adat istiadat Kejawen, memiliki peranan penting dalam diterimanya ritual nyekar.
Jejak Tradisi Nyekar Kontemporer
Catatan sejarah tentang kebiasaan nyekar secara khusus sangat terbatas selama periode penjajahan Belanda. Akan tetapi, adanya bukti menegaskan bahwa tradisi berkunjung dan memuliakan makam, biasanya dilakukan untuk mendapatkan berkat atau menyatakan penghargaan, masih bertahan dan dianut dalam beragam cara oleh berbagai kelompok masyarakat serta tingkatan sosial saat itu.
Lokasi Pemakaman Suci Batok di Bekasi
, yang teridentifikasi pada sekitar tahun 1636 saat masa penjajahan Belanda, dihubung-hubungkan dengan pahlawannya adalah seorang tokoh agama setempat yang memperlawan kekuasaan Belanda. Banyak orang datang berkunjing untuk menemui dan mendapatkan berkat daripadanya.
Beberapa catatan historis menunjukkan bahwa ritual ziarah untuk memuliakan pahlawannya daerah serta para pendirinya tetap berlanjut pasca era penjajahan Belanda. Salah satu contohnya adalah sebagai berikut:
tiap tahun menjelang peringatan Hari Jadi Kabupaten Batang
yakni dengan mengunjungi pemakaman Kyai Mandurorejo, seorang pahlawannya lawan penjajahan Belanda dan Jepang.
Terdapat juga kebiasaan membersihkan kuburan serta meletakkan lilin dan bunga di pemakaman milik orang Portugal di Jakarta menjelang perayaan Natal. Hal ini mengindikasikan bahwa ritual mirip menyapu makam terus berkembang dalam berbagai kelompok masyarakat saat masa penjajahan, walaupun memiliki latar belakang keagamaan yang berbeda.
Sebagian orang meyakini bahwa menyucikan makam bisa menjadi cara untuk mendapatkan berkat atau doa pengampunan dari leluhur serta figur-figur terpandang. Akan tetapi, elit keagamaan memiliki perselisihan tentang kesesuaian hal tersebut dengan paham monotheisme dalam Islam.
Kombinasi dari keyakinan sebelum Islam terkait dengan roh leluhur dan ritual-ritual Islam telah menciptakan warisan budaya yang khas serta memiliki nilai maknawi yang kuat.
Pada masa kini, kebiasaan menyucikan atau membersihkan kuburan telah menjadi suatu adat istiadat yang sangat mendalam di kalangan umat Muslim Indonesia, mempunyai banyak arti serta tujuan. Seperti ditulis oleh Isfiana Oktaria Nasihatul Umami dalam sebuah jurnal.
Jurnal Internasional Agama dan Masyarakat
, nyekar dapat meningkatkan tali persaudaraan, mengeraskan jati diri dalam konteks budaya setempat, serta meneguhkan jejak warisan leluhur melalui penghargaan terhadap riwayat keluarga dan adat istiadat yang dilestarikan turun-temurun.
Walaupun ada perdebatan antara para tokoh agama tentang sejumlah hal dalam pelaksanaannya, tradisi nyekar secara umum dikenal dan disambut sebagai elemen penting dari jati diri keagamaan serta budaya Indonesia.
Menyekarkan bunga di makam menggambarkan kesuksesan dalam proses penyesuaian budaya, dimana nilai-nilai dasar Islam dapat dilestarikan sekaligus menerima tradisi setempat, sehingga keyakinan menjadi lebih mudah diterima dan berhubungan dengan warga lokal.